Jumat, 05 Februari 2010

Pelestarian Sumber Daya Alam Hutan Indonesia

Pendahuluan

A.Latar Belakang

Pada masa pemanasan global eksistensi hutan sangat dibutuhkan keberadaannya, demi menjaga keseimbangan alam dan kelangsungan mahluk hidup baik binatang ataupun manusia itu sendiri.Namun, dalam kenyataannya penebangan ilegal terjadi dimana-mana karena kesadaran masyarakat yang masih lemah, demi keuntungan sementara rela mengorbankan kelestarian hutan yang justu pada ahirnya merugikan manusia itu sendiri baik secara langsung ataupun tidak langsung ,penomena alam yang terjadi cukuplah bagi kita untuk untuk menanggapi akibat negatif dari penggundulan hutan,seperti:tanah lonsor, banjir, peningkatan suhu panas di bumi, dan banyak lainnya yang tidak perlu disebutkan satu-persatu.Menanggapi hal ini pentingnya melestarikan sumberdaya alam hutan, khususnya sumber daya alam hutan Indonesia, yang semestinya dilakukan adalah menjaga dan melestarikan sumber daya alam hutan Indonesia, serta menggunakannya dengan arif dan legal.Pada makalah tinjauan ini, dibahas tentang bagaimana caranya melestarikan hutan?,dengan judul makalah”Pelestarian Sumber Daya Alam Hutan Indonesia”,dengan harapan memberikan gambaran bagi masyarakayat Indonesia tentang pentingnya menjaga dan melestarikan hutan.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakng diatas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah sumber daya alam itu?
2. Apakah reboisasi itu?
3. Bagaimana cara menanggulangi penebangan ilegal?
4. Bagaimana menumbuhkan kesadaran masyarakat pentingnya melestarikan hutan?

Pembahasan

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka dapat dibahas secara lebih luas sebagai berikut:

1. Sumber daya Alam

Sumber daya alam adalah adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup manusia agar hidup lebih sejahtera yang ada di sekitar alam lingkungan hidup kita. Sumber daya alam bisa terdapat di mana saja seperti di dalam tanah, air, permukaan tanah, udara, dan lain sebagainya. Contoh dasar sumber daya alam seperti barang tambang, sinar matahari, tumbuhan, hewan dan banyak lagi lainnya.

2. Reboisasi

Sebelum membahas lebih jauh tentang reboisasi, kita pahami terlebih dahulu apa itu reboisasi?. Reboisasi menurut kamus kecil bahasa indonesia berarti penanaman kembali hutan yang gundul; penghijauan.

Dari pengertian diatas reboisasi sangat dibutuhkan untuk menggantikan hutan-hutan yang mengalami kerusakan karena penebangan ilegal atau sebab-sebab lainnya yang bersifat merusak bagi kelestarian hutan.

Dalam hal ini selain hutan darat hutan pantai jugai mengalami kerusakan, mangruve misalnya.menanggapi hal tersebut pemerintah melakukan upaya untuk melestarikannya dengan cara melakukan reboisasi.

Fakta kerusakan hutan khususnya mangrove dapat dilihat dengan jelas di Bali. Pembabatan hutan mangrove secara besar-besaran mulai dari Desa Pesanggaran sampai dengan Desa Pemogan (perbatasan antara Kota Denpasar dan Kabupaten Badung) yang dilakukan sebelum tahun 1990an yang dilakukan oleh investor yang bergerak dalam bidang usaha tambak udang telah mengakibatkan berkurangnya luas area hutan mangrove secara drastis di wilayah tersebut. Pada awal perkembangannya tambak-tambak udang tersebut memang menguntungkan dan mampu meningkatkan perekonomian masyarakt lokal. Tetapi, setelah beberapa tahun beroperasi, tambak-tambak tersebut mulai mengalami kerugian sehingga mengakibatkan kebangkrutan yang berujung pada penutupan usaha pertambakkan.
Hengkangnya para investor tambak udang tersebut meninggalkan bekas dan luka yang mendalam dan berkepanjangan bagi lingkungan di tempat tersebut sampai sekarang. Pohon mangrovepun tidak bisa tumbuh lagi khususnya ditempat-tempat pemberian makanan udang karena kerasnya bahan kimia yang dipakai untuk membersarkan udang secara instant. Sedangkan investor-investor tersebut sudah menghilang entah kemana?

Menyikapi fenomena tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan mengeluarkan beberapa kebijakan (policy) yang diharapkan mampu menyelamatkan kekayaan alam berupa hutan tropis yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Salah satu kebijakannya adalah tentang upaya penyelamatan hutan mangrove yang selanjutnya pada tahun 1992 dibentuk Pusat Informasi Mangrove (Mangrove Information Center).

Mangrove Information Center (MIC) merupakan proyek kerjasama antara Pemerintah Indonesia melalui Proyek Pengembangan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari dan Pemerintah Jepang melalui Lembaga Kerjasama Internasional Pemerintah Jepang melalui Japan International Corporation Agency (JICA).

Proyek kerjasama ini terdiri dari beberapa tahapan. Tahap pertama dimulai pada tahun 1992 dan berakhir tahun 1997. Pada tahapan ini, Pemerintah Jepang mengirim team untuk melakukan identifikasi hal-hal apa saja yang dibutuhkan dan dilakukan. Dari hasil identifikasi ini, dibentukalan team bersama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang dan selanjutnya sepakat untuk membangun Proyek Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Proyek ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengekplorasi teknik-teknik reboisasi yang bisa dilakukan untuk pemulihan (recovery) kondisi hutan mangrove yang sudah mengalami kerusakan. Teknik yang ditemukan adalah tentang bagaimana cara persemaian bibit dan penanaman mangrove. Selain itu, diterbitkan juga buku panduan penanaman mangrove. Hasil yang dicapai pada tahap ini adalah penentuan model pengelolaan hutan mangrove lestari, penerbitan beberapa buku seperti; buku panduan (guide book) persemaian bibit dan penanaman mangrove, buku-buku yang berkaitan dengan mangrove, dan reboisasi atau penanaman mangrove seluas 253 hektar di kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA).

Usaha reboisasi hutan mangrove yang telah dilakukan oleh The Mangrove Information Center memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung karena persediaan untuk konsumsi oksigen sudah tersedia di tempat ini dan meningkatkan rasa aman dari bencana tsunami bagi masyarakat yang berdekatan dengan hutan mangrove tersebut. Selain itu, kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pentingnya pelestarian hutan mangrove semakin meningkat. Ini dibuktikan dengan semakin banyaknya sekolah-sekolah (dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi) dan industri pariwisata dengan secara sukarela untuk ikut serta menanam pohon mangrove di beberapa tempat seperti di kawasan konservasi The Mangrove Information Center dan Pulau Serangan yang bibit-bibit pohon mangrovenya disediakan oleh pihak The Mangrove Information Center. Usaha lain yang dilakukan oleh The Mangrove Information Center untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan adalah dengan membuka kegiatan wisata alam (ecotourism) sehingga masyarakat dapat melihat, menikmati dan berinteraksi dengan lingkungan secara langsung di kawasan hutan mangrove tersebut
.
.




3. Menanggulangi Penebang Ilegal

Upaya pelestarian sumberdaya alam hutan juga dapat dilakukan dengan menanggulangi penebang liar, sekalipun reboisasi dilakukan tanpa adanya perlindungan terhadap hutan itu sendiri, maka tidaklah efekif dalam mewujudkan pelestarian hutan.

Dalam menanggulangi penebang ilegal kita harus paham dan mengerti mengapa penebangan ilegaln itu terjadi? Penebangan ilegal terjadi karena beberapa sebab diantaranya: faktor ekonomi masyarakat yang buruk, pemerintah belum bisa menegak hukum secara adil, khususnya masalah perhutanan dan hukuman bagi para penebang ilegal.

 Perekonomian masyarakat yang buruk

Perekonomian masyarakat yang buruk inilah penyebab utama terjadinya ilegal loging, karena kebanyakan para penebang liar khususnya pada tingkatan pekerja, adalah merupakan suatu pekerjaan untuk menghidupi keluarga mereka,yang jelas mereka melakukan penebangan liar bukan semata-mata mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Namun, pada tingkatan penguasa modal boleh dikatakan dalam rangka mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, walaupun demikian penebang ilegal tetap tidak dibenarkan.

 Penegakan hukum yg belum bisa dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah

Pada dasarnya hutan adalah milik kita bersama yang harus kita jaga keberadaannya, tapi hal tersebut harus mendapat dukungan dari masyarakat dan juga pemerintah selaku penegak hukum, sebenarnya pemerintah sudah berupaya dalam menengakan hukum tersebut, kadang-kadang hukum itu jadi tidak berfungsi karena pelaku penegak hukum tidak jujur.
 Akar Masalah Yang Tak Pernah Tersentuh
Dari beberapa pengamatan, terdapat beberapa areal yang selama ini menjadi akar permasalahan yang hingga saat ini belum tersentuh didalam penanganan permasalahan penebangan liar.
1. Semrawutnya kewenangan di sektor kehutanan

Undang-undang Otonomi dan Undang-undang Kehutanan sendiri konflik satu sama lain dalam menentukan legal tidak legalnya sebuah operasi kehutanan. Menurut UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Bupati berhak mengeluarkan ijin-ijin IPK, IPHH, dan berbagai macam ijin sah lainnya di tingkat kabupaten yang dipakai untuk mengeluarkan kayu-kayu dari hutan, dimana di sisi lain pemerintah pusat meradang akibatnya dan mengklaim bahwa seluruh ijin ?resmi?? tersebut bertentangan dengan UU Kehutanan. Bahkan saat ini beberapa kabupaten telah mengeluarkan Peraturan Daerah yang berkaitan tentang Hutan dan Kehutanan yang memperbolehkan pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu oleh Bupati dengan luasan hingga 50.000 hektar serta adanya SK Bupati untuk pemanfaatan kayu dengan alasan pembukaan areal untuk perkebunan serta pemberian ijin konsesi skala kecil. Hal ini diperparah dengan begitu mudahnya dikeluarkannya Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) oleh Dinas Kehutanan, bahkan ada pihak yang mampu melakukan pemalsuan dokumen demi tujuan pengekstraksian kayu di hutan. Lantas, untuk menentukan legal atau tidak legal sebuah kayu dari sebuah operasi kehutanan, misalnya, hukum mana yang anda pakai?

Disisi penegakan hukum, hingga saat ini selalu terjadi saling lempar kewenangan dalam penanganan illegal logging. Kepolisian dan Kejaksaan yang harusnya menjadi aktor utama penegakan hukum pun telah patah arang, sehingga membutuhkan bantuan dari instansi teknis kehutanan. Sementara instansi teknis kehutanan selalu menyatakan bahwa kewenangan penegakan hukum hanya ada di Kepolisian dan Kejaksaan. Lalu siapa yang sebenarnya berhak untuk melakukan penegakan hukum? Haruskah hukum rimba yang berlaku?
2. Gap antara kebutuhan industri perkayuan dan ketersediaan kayu di hutan

Industri perkayuan di Kalimantan Timur memiliki kapasitas produksi sebesar 9,1 juta meter kubik kayu setiap tahunnya, sementara saat ini Departemen Kehutanan hanya mengeluarkan ijin resmi sebesar 1,5 juta meter kubik kayu setiap tahunnya. Hal ini memicu pemenuhan kebutuhan industri perkayuan dari kayu yang tidak legal. Bahkan ketika industri kehutanan mengalami keterpurukannya, dimana 128 industri kehutanan berhutang hingga 22 triliun rupiah, pemerintah masih terus memberikan bantuan kepada pengusaha kehutanan dengan berbagai fasilitas dan suntikan uang rakyat bagi industri kehutanan. Restrukturisasi industri berbahan kayu tidak pernah dilakukan secara serius serta selalu mempertentangkan keberadaan pekerja sektor kayu dengan kepentingan penyelamatan hutan. Padahal pekerja di sektor industri kehutanan hanya berkisar 4-6 juta orang, sementara sekitar 40-60 juta orang hidupnya bergantung pada hutan yang tersisa.
Kondisi kesenjangan ketersediaan kayu juga diperparah dengan tingginya permintaan kayu tropis dari negara-negara utara yang telah memicu semakin lancarnya perdagangan kayu ilegal serta illegal logging di Indonesia. Pemerintah Indonesia sejak tahun 2001 melalui keputusan bersama Departemen Kehutanan dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan sejak tahun 2001 telah mengeluarkan larangan ekspor kayu bulat (log) dan bahan baku serpih, melalui Keputusan Bersama Menteri Kehutanan Nomor 1132/Kpts-II/2001 dan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 292/MPP/Kep/10/2001, namun di tahun 2002 terdapat realisasi ekspor kayu bulat sebanyak 55.109 ton dengan nilai US$ 11,20 juta dan sampai dengan April 2003 terdapat ekspor sebanyak 2.767 ton dengan nilai US$ 881.000. Selain itu, terdapat kehilangan negara akibat penyimpangan yang dilakukan eksportir nakal dengan mengakali produk dengan hanya diampelas atau diketam untuk menghindari pajak ekspor 15% yang diperkirakan mencapai US$ 270 juta/tahun.
3. Ketidakpastian tenurial memicu pengrusakan sosial dan budaya masyarakat

Permasalahan tenurial telah menjadi titik kunci dari terus terjadinya pengrusakan hutan, dimana ketidakpastian tenurial telah membuat masyarakat terpaksa ?melepaskan? kawasan kelolanya kepada pengusaha yang berimplikasi pada pelepaspaksaan budaya dan ikatan batin dengan kawasan kelola. Disaat terbukanya keran otonomi daerah, pengembalian hak kelola masih dimaknai sebagai pemberian kesempatan berusaha di sektor kayu bagi masyarakat. Hal inilah yang akhirnya memacu penghabisan hutan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini terlalu sulit untuk mengakses sumberdaya alamnya
.
Selain itu, dengan dikuasakannya kawasan hutan kepada segelintir pengusaha selama ini, telah menumbuhkan benih-benih konflik sosial dan ekonomi, sehingga dikala kesempatan ditaburkan, maka saat itu pulalah pemanfaatan kesempatan dilakukan dengan sesuka hati, dimana hal ini diperparah dengan telah hilangnya akar budaya di tingkat kelompok masyarakat. Kecemburuan sosial selama ini juga telah memacu perebutan kesempatan untuk menghabiskan sumberdaya alam secepatnya, sebelum sumberdaya alam tersebut dikuras habis oleh segelintir konglomerat.
4. Korupsi yang mengakar

Korupsi merupakan sebuah akar dari keseluruhan permasalahan negeri. Korupsi di sektor kehutanan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, diantaranya adalah dengan tidak melakukan pengawasan terhadap pengelolaan hutan, pemberian ijin yang tidak sesuai dengan kondisi aktual kawasan, kolusi dalam pemberian jatah tebang tahunan, menerima ?upeti? dari penebang kayu tak berijin, hingga melakukan pembiaran terhadap pengrusakan hutan
.
Korupsi yang telah diterima sebagai sebuah budaya di berbagai tingkat masyarakat akhirnya telah menutup kepentingan kelestarian dan keberlanjutan pengelolaan hutan saat ini. Hal ini juga diperparah dengan tidak terjadinya penegakan hukum di sektor kehutanan yang membuat sebagian besar masyarakat menjadi antipati terhadap sebuah slogan pelestarian hutan. Kayu tak sebesar pil ekstasi, namun penegakan hukum terhadap pelaku pencurian kayu lebih sulit dibandingkan penegakan hukum bagi pelaku narkoba. Demikian pula bila melihat dampak yang terjadi akibat pencurian kayu yang dapat menyebabkan kerugian bagi komunitas masyarakat dalam jumlah besar, dibandingkan dengan pengguna dan pengedar narkoba yang hanya merugikan pihak pengguna dan pengedar saja. Pencuri kayu dapat menghadirkan kerusakan hutan yang berpotensi menjadikan bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan.
 Perpu Penanganan Illegal Logging: Sebuah Darurat Yang Akhirnya Tidak Darurat
Pada awal tahun 2004, sempat tergulirkan isu akan lahirnya sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Penebangan Pohon di Dalam Hutan Secara Ilegal, namun hingga Pemilu berakhir, perpu tersebut belumlah juga lahir. Hal yang sangat berbeda dibandingkan dengan kelahiran Perpu No. 1 tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang memberikan peluang dilakukannya pertambangan di kawasan hutan lindung. Sebuah pertanyaan besar tersisa dari sebuah drama kelahiran perpu di Indonesia, dimana ketika adanya ancaman dari investor pertambangan membuat pemerintah menjadi takut sehingga dalam waktu singkat mengeluarkan perpu untuk tetap mengijinkan penambangan di kawasan hutan lindung, sedangkan disaat illegal logging yang telah menjadi ancaman bagi kelestarian hutan, pemerintah masih terus melakukan pembiaran.
Walaupun substansi dari Perpu Pemberantasan Tindak Pidana Penebangan Pohon di Dalam Hutan Secara Ilegal yang masih sangat jauh dari sebuah kesempurnaan, namun memperlihatkan sebuah itikad baik pemerintah untuk melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan kehutanan. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa penebangan secara ilegal telah setara dengan terorisme.
Di dalam Rancangan Perpu tersebut, setidaknya akan melingkupi beberapa celah hukum yang selama ini tidak dapat tersentuh oleh peraturan yang telah ada, diantaranya Perpu akan menjerat kegiatan peredaran kayu hasil penebangan secara ilegal, menjerat pihak yang membiayai maupun mengorganisir penebangan secara ilegal, pihak yang menghalangi upaya penegakan hukum penebangan ilegal, pejabat yang mengeluarkan ijin yang tidak sesuai, adanya pembatasan waktu pemrosesan secara hukum, pemblokiran rekening tersangka, perlindungan terhadap pelapor dan aparat penegak hukum, pembentukan hakim ad hoc, insentif bagi upaya penegakan hukum, serta pembentukan Badan Pemberantasan Tindak Pidana di Bidang Kehutanan.
Beberapa hal yang sangat perlu dicermati dari substansi perpu yang telah beberapa kali mengalami perubahan adalah:
1. Lingkup penegakan hukum yang dipersempit

Dari sebuah pengertian dalam Pasal 1 (1) rancangan perpu disebutkan bahwa hutan adalah hutan negara yaitu hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani bukti hak atas tanah, dan hasil hutan berupa kayu adalah kayu bulat dan/atau kayu olahan primer atau gergajian yang berasal dari hutan. Melihat lingkup penegakan hukum yang akan dilakukan, maka sangat terbatas pada kawasan hutan, sedangkan kondisi aktual saat ini masih sering terjadi ketidakjelasan kawasan hutan di lapangan. Saat ini baru 12 juta hektar kawasan hutan yang telah ditatabatas, selebihnya belum dilakukan tata batas, sehingga memungkinkan terjadinya manipulasi asal kayu yang membuat terlepasnya pelaku dari jerat hukum.
Hal lain adalah dari judul perpu yang telah mengalami perubahan beberapa kali, dalam draft akhir hanya menyebutkan ?penebangan pohon di dalam hutan secara ilegal?. Walaupun dalam pasal 3 menyatakan bahwa lingkup perpu adalah penebangan pohon dalam hutan secara ilegal, termasuk pemanenan, pemungutan, pengangkutan, penyimpanan, penguasaan, pemilikan dan peredaran kayu hasil penebangan secara ilegal, namun hal ini berpotensi pada pemelintiran hukum sebagaimana yang selalu terjadi selama ini. Penegakan hukum yang berdasarkan interpretasi aparat penegak hukum memungkinkan terjadinya manipulasi hukum.
2. Badan Pemberantasan Tindak Pidana di Bidang Kehutanan yang sangat super power.

Bila melihat komposisi Badan Pemberantasan Tindak Pidana di Bidang Kehutanan (BPTPBK) yang beranggotakan unsur Departemen Kehutanan, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung dan instansi terkait, dengan diketuai oleh Menteri Kehutanan, menjadikan baik buruknya pelaksanaan tugas oleh BPTPBK sangat tergantung kepada moral Ketua Badan, dalam hal ini Menteri Kehutanan. Ketua Badan bahkan bisa meminta Panglima TNI dan Kapolri, bahkan Gubernur pada beberapa hal. Badan yang diketuai oleh Menteri Kehutanan akan menjadi lembaga yang super power namun sangat miskin dalam hal transparansi dan akuntabilitas.
Keanggotaan Gugus Tugas yang tidak melibatkan masyarakat ataupun perwakilan masyarakat akan membuat gugus tugas menjadi tertutup bagi masyarakat. Pengalaman dibentuknya Tim Pengendalian Hutan Terpadu di era sebelum tahun 1999, dengan keanggotaan yang sama hanya menyediakan arena kolusi antara tim dengan pelaku kejahatan kehutanan.
3. Kepentingan ekologi yang dilupakan

Disebutkan bahwa uang hasil lelang barang bukti sebesar 75% dikelola oleh Ketua BPTPBK untuk biaya operasional dan insentif bagi pihak yang berjasa, sedangkan 25%nya disetor ke Kas Negara. Dengan sangat besarnya prosentase insentif bagi pihak yang berjasa tersebut, maka hutan akan semakin rusak karena tidak ada insentif bagi hutan yang telah ditebang. Padahal setiap kayu yang ditebang dari hutan telah membuat kerusakan bagi sekurangnya 25 batang anakan pohon disekitarnya, yang tentunya membutuhkan restorasi.
5. Ketertutupan di era keterbukaan

Tidak diaturnya mekanisme akuntabilitas (pertanggunggugatan) badan kepada publik di dalam Perpu ini membuat masyarakat tidak memiliki kewenangan terhadap akses informasi dalam proses penegakan hukum. Masyarakat hanya diposisikan sebagai pelapor, sedangkan pada proses pengawasan, masyarakat ditinggalkan. Penting untuk memasukkan pertanggung gugatan gugus tugas kepada publik, termasuk didalamnya proses transparansi dan kewajiban publikasi dari BPTPBK, untuk memperkecil ruang kolusi dan korupsi di dalam badan. Badan juga harus memiliki kewajiban untuk mengumumkan kepada publik proses-proses yang telah dilakukan, termasuk tentang lokasi, pelaku, barang bukti dan proses hukum yang sedang dilalui oleh pelaku.
Namun bila saja aparat penegak hukum berkeinginan untuk melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana Kehutanan saat ini, beberapa pijakan hukum masih dapat dipergunakan tanpa menunggu lahirnya Perpu, diantaranya peraturan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, serta berbagai peraturan mengenai lingkungan hidup dan kehutanan.


Dari penjelasan diatas maka dapat dijelaskan lebih lanjut bagaimana cara menanggulangi penebang ilegal, diantaranya:

A. Selain melarang melakukan penebangan lihar pemerintah setempat harus memberikan solulusi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang memang pekerjaannya sebagai penebang liar.

B. Pemerintah bisa menegakan hukum secara adil, khususnya dalam hal perlindungan hutan dan larangan penebangan ilegal.

C. Para pejabat tidak memberikan izin penebangan ilegal, demi mendapat uang yang tidak dihalalkan.

D. Menumbuhkan kesadaran hukam lingkungan


Kesadaran hukum lingkungan, baik itu pelestarian maupun pengelolaannya, pada hakikatnya manusia harus memiliki kesadaran hukum yang tinggi, karena manusia memiliki hubungan sosiologis maupun biologis secara langsung dengan lingkungan hidup di mana dia berkesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu bagian dari budaya hukum. Dikatakan sebagai salah satu bagian, karena selama ini ada persepsi bahwa budaya hukum hanya meliputi kesadaran hukum masyarakat saja. Padahal budaya hukum juga mencakup kesadaran hukum dari pihak pelaku usaha, parlemen, pemerintah, dan aparat penegak hukum. Hal ini perlu ditegaskan karena pihak yang dianggap paling tahu hukum dan wajib menegakkannya, justru dari oknumnyalah yang melanggar hukum. Hal ini menunjukkan kesadaran hukum yang masih rendah dari pihak yang seharusnya menjadi "tauladan bagi masyarakat"
.

Menurut Soerjono Soekanto, Kesadaran hukum masyarakat menyangkut faktor-faktor apakah suatu ketentuan hukum diketahui, dimengerti, ditaati dan dihargai. Apabila masyarakat hanya mengetahui adanya suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran hukumnya lebih rendah daripada apabila mereka memahaminya dan seterusnya. Kesadaran hukum meliputi berbagai aspek kehidupan dan tingkat kesadarannya bisa berbeda-beda tergantung tingkat aplikasi faktor-faktor di atas. Selain itu, kesadaran hukum juga ditentukan oleh sudut pandang masing-masing individu dalam melihat "hukum".


Kesadaran Hukum Lingkungan


Kesadaran hukum lingkungan, baik itu pelestarian maupun pengelolaannya, pada hakikatnya manusia harus memiliki kesadaran hukum yang tinggi, karena manusia memiliki hubungan sosiologis maupun biologis secara langsung dengan lingkungan hidup dimana dia berada, sejak dia lahir sampai meninggal dunia. Namun kesadaran hukum masih dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya strategis untuk menumbuhkan kesadaran hukum tersebut, baik dari sisi mental manusianya maupun dari segi kebijakan. Sinergi keduanya penting, karena kesadaran hukum itu ada yang tumbuh karena memang sesuai dengan nilai yang dianutnya
.

Misalnya orang yang suka dengan hidup bersih, maka ia tidak akan membuang sampah sembarangan. Kesadaran hukum juga dapat tumbuh karena takut dengan sanksi yang dijatuhkan. Kesadaran semu inilah yang banyak dimiliki oleh masyarakat kita. Lepas dari penyebab kesadaran hukum itu muncul, yang berbahaya adalah apabila kesadaran hukum itu telah ada namun kemudian menurun bahkan hilang karena faktor eksternal, seperti penegakan hukum yang tidak tegas dan tebang pilih. Hal ini akan menurunkan kesadaran hukum masyarakat dan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum. Jadi, upaya menumbuhkan kesadaran hukum tidak cukup dengan menuntut masyarakat, tetapi juga harus disertai dengan tauladan dan penegakan hukum.
.

Manusia, baik kedudukannya sebagai anggota masyarakat, sebagai pelaku usaha, sebagai aparat penegak hukum, maupun sebagai pembuat/pengambil kebijakan, harus memiliki kesadaran hukum lingkungan meskipun secara bertahap, dari sekedar mengetahui sampai dengan menaati dan menghargai berbagai ketentuan hukum lingkungan yang ada.

Bagi individu dimasyarakat, misalnya dengan tidak membuang sampah sembarangan. Bagi pelaku usaha, misalnya melakukan AMDAL dan pengelolaan limbah yang dihasilkan. Sementara bagi Pemerintah, misalnya dengan memperketat proses AMDAL dan perizinan, serta menindak tegas pegawai yang menyalahgunakan kewenangannya, seperti memberikan AMDAL dan izin tanpa prosedur yang seharusnya. Selain itu, pemerintah dalam membuat kebijakan tata kota dan perizinan area bisnis hendaknya memperhatikan kondisi lingkungan tidak hanya untuk saat ini tetapi juga untuk masa yang akan datang
.

Karena dibeberapa kota, banjir dan tanah longsor terjadi justru disebabkan kebijakan tata kota yang menjadikan daerah serapan air dan hutan lindung kota sebagai area bisnis, seperti pendirian Mall dan apartemen. Sedangkan bagi Parlemen, seperti DPRD dalam membuat Perda yang berkaitan dengan lingkungan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan harus menguntungkan masyarakat di daerah. Sementara bagi aparat penegak hukum, hendaknya menindak tegas para perusak lingkungan tanpa pandang bulu, termasuk apabila pelakunya melibatkan pejabat dan atasan/bawahannya sendiri.

Berkaitan dengan faktor-faktor kesadaran hukum sebagaimana disebutkan diatas, untuk hukum lingkungan, ada beberapa masalah yang perlu dicermati, yaitu : Pertama, "mengetahui", secara yuridis, setelah UU disahkan, sejak itu pula muncul asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahuinya. Asumsi ini terealisasi apabila pasca diundangkan ada aktivitas sosialisasi yang tepat dan kontinyu. Bila tidak, maka dapat dihitung berapa jumlah masyarakat Indonesia yang mengetahui tentang peraturan tersebut dan jumlahnya dipastikan tidak akan menyentuh masyarakat kalangan bawah, tidak hanya di desa tetapi juga diperkotaan. Akibatnya tidak heran bila ada kegiatan usaha yang tidak memiliki atau bahkan tidak mengetahui perlunya AMDAL
.

Kedua, "mengerti", masyarakat tidak cukup hanya sekedar mengetahui saja, tetapi juga harus memahami isi peraturan, seperti apa tujuan dan manfaat dikeluarkannya peraturan tersebut. Hukum lingkungan tentunya bertujuan agar proses pembangunan tidak merusak lingkungan. Oleh karena itu diperlukan adanya aturan AMDAL dan perizinan. Adanya aturan ini hendaknya tidak menjadi beban bagi pelaku usaha dan lahan korupsi bagi oknum birokrasi/aparat hukum, tetapi sebagai upaya preventif bersama agar kegiatan usaha tidak merusak lingkungan
.

Ketiga, "mentaati", setelah mengetahui dan memahami, maka diharapkan dapat mentaati. Namun hal ini masih dipengaruhi oleh beberapa faktor. Bagi pihak yang merasa kepentingannya sama, maka biasanya akan langsung mentaati. Apabila tidak, maka masih ada proses berfikir, bahkan mencari celah bagaimana "menghindari" atau "mensiasatinya".

Keempat, "menghargai", ketika seseorang telah mentaati, maka sikap menghargai suatu peraturan hukum lingkungan itu akan muncul bersamaan dengan kesadaran hukumnya bahwa hukum tersebut memang wajib untuk ditaati demi kepentingan dirinya, masyarakat dan dalam upaya mencegah kerusakan lingkungan.


Proses menumbuhkan kesadaran hukum lingkungan di atas, jangan sampai terjebak dengan kata "lingkungan" saja, sehingga hanya UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH) saja yang dipahami masyarakat, tetapi juga UU lain yang berkaitan dengan lingkungan hidup, seperti UU tentang Perikanan, Benda Cagar Budaya, Pertambangan, ZEE, Perindustrian, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Pelayaran. Karena lingkungan hidup itu meliputi tanah, air, udara, ruang angkasa, termasuk manusia dan perilakunya. UU PLH pada dasarnya merupakan UU induk atau Payung "umbrella Act" dibidang lingkungan hidup bagi semua UU tersebut.


Menumbuhkan Kesadaran Hukum Lingkungan


Upaya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat dalam pelestarian lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : Pertama, meningkatkan program sosialisasi dari tingkat pusat sampai ke desa-desa, khususnya berkaitan dengan hak dan kewajiban serta berbagai permasalahan riil yang dihadapi oleh masyarakat, seperti prosedur AMDAL, perizinan dan dampak positif dan negatif apabila prosedur tersebut tidak dilakukan. Kedua, meningkatkan kesadaran hukum (mental) semua pihak. Ketiga, menindak tegas oknum pemerintah/aparat yang menyalahgunakan wewenangnya dan menindak tegas pelaku perusakan/pencemaran lingkungan tanpa tebang pilih sehingga masyarakat percaya dengan upaya penegakan hukum lingkungan. Keempat, memangkas proses birokrasi yang panjang dan berbelit-belit
.

Kelima, semakin meningkatkan kualitas dalam pemberian penghargaan dibidang lingkungan, khususnya kriteria penilaian dengan memasukkan kriteria pembangunan berwawasan lingkungan, baik ditingkat nasional maupun di daerah-daerah. Keenam, menghindari penggunaan sarana hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan yang masih dapat menggunakan sarana hukum lain yang lebih efektif. Contohnya Perda tentang pembuangan sampah disembarang tempat dengan sanksi pidana kurungan dan denda yang tinggi yang ternyata tidak efektif.


Tumbuhnya kesadaran hukum lingkungan diharapkan dapat mendukung terwujudnya slogan "Pembangunan Berwawasan Lingkungan" menjadi kenyataan dan tidak hanya sekedar menjadikannya sebagai visi dan misi pembangunan saja.

Beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam menanggulangi penebang ilegal diataranya sebagainberikut:
Pemerintah Indonesia sangat gencar berupaya memberantas ?illegal logging??. Pemerintah Indonesia telah membuat banyak kesepakatan dengan negara lain dalam upaya penegakan hukum terhadap ?illegal logging?? dan perdagangan ilegal, diantaranya dengan pemerintah Inggris, Uni Eropa, RRC, Jepang dan Korea Selatan. Yang juga tidak kalah banyaknya adalah upaya LSM Internasional dan lembaga donor membantu Indonesia dalam memberantas ?illegal logging??. Berbagai pertemuan telah dilakukan, namun senyatanya rencana-rencana aksi yang dibuat seringkali tidak menyelesaikan akar masalah.
Sisi lain yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melakukan soft landing atau penurunan jatah tebang tahunan bagi pengusaha hutan produksi. Hal ini ternyata bukan menyelesaikan permasalahan, namun semakin meningkatkan intensitas penebangan liar. Dengan semakin menurunnya jatah tebang tahunan menjadikan pengusaha berupaya melakukan berbagai cara untuk menutup kerugian berusaha. Industri berbahan kayu berupaya mencari bahan baku tambahan untuk menutupi kekurangan bahan baku. Hal yang juga penting dilihat adalah ketika diberlakukan soft landing, ternyata berpotensi menjadikan banyak sekali terjadinya kolusi dan korupsi di kalangan pemerintah, terutama berkaitan dengan penerbitan dokumen kayu. Harusnya pemerintah memberikan kesempatan hutan untuk beristirahat sejenak dengan tidak memberikan jatah tebang kepada pengusaha hutan produksi, sehingga akan menjadi lebih mudah dalam melakukan penegakan hukum.
Sisi lain yang dilakukan pemerintah adalah melalui kesepakatan Menteri Kehutanan dengan Menteri Perindustrian dan Perdagangan melalui SK Menhut No 10267/Kpts-II/2002 dan SK Memperindag No 83/MPP/Kep/12/2002 yang dibuat pada tanggal 13 Desember 2002 untuk membentuk Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) yang beranggotakan 5 orang supervisor dan 17 orang pengelola. BRIK bertujuan untuk mencapai pengelolaan hutan berkelanjutan melalui keberlanjutan ketersediaan bahan baku bagi industri kehutanan dan melakukan revitalisasi industri kehutanan untuk membantu penyediaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang berkelanjutan. Pada tanggal 10 Juni 2003 telah terdapat 3.625 perusahaan untuk menjadi ETPIK, sejumlah 3,592 perusahaan telah memperoleh rekomendasi dari BRIK serta 3.325 perusahaan telah memperoleh ETPIK. Kenyataan yang terjadi dalam pelaksanaan BRIK, sesuai dengan namanya adalah berupaya untuk memberikan ?infus? kepada industri yang telah hampir tak bernyawa, sehingga menciptakan ketidakefisiensian berusaha dan menciptakan industri kehutanan yang keropos. Kepentingan lapangan kerja yang selalu dikedepankan, senyatanya juga tidak menjaminkan kesejahteraan pekerja di sektor perkayuan. Sesederhana bila melihat kesusahaan yang dialami oleh pekerja yang berasal dari dua industri perkayuan yang pernah dimiliki oleh Raja Hutan ?Bob Hasan? yang saat ini harus terus berjuang memperoleh hak-hak mereka.
Upaya pemerintah untuk menutupi kekurangan kebutuhan kayu dari hutan tanaman, dilakukan penjawaban dengan mengeluarkan kemudahan-kemudahan bagi pengusaha hutan tanaman untuk berusaha. Keberpihakan Dephut pada pengusaha hutan tanaman sangat terlihat dari seringnya dilakukan revisi terhadap SK Menhut yang mengatur pengelolaan hutan tanaman. Tidak perlunya dilakukan studi kelayakan usaha, sangat berpotensi menjadikan pengusaha hutan tanaman akan semakin sewenang-wenang terhadap hutan dan rakyat di dalam dan sekitar hutan. Selain itu, dengan berbagai kemudahan permodalan, juga menjadikan pengusaha hutan tanaman tak memiliki profesionalisme dalam berusaha, diberikannya pinjaman tanpa bunga dari dana reboisasi, penyertaan modal pemerintah, serta kemudahan pinjaman tambahan dari dana reboisasi maupun perbankan telah menjadikan pengusaha hutan tanaman semakin berjaya. Sementara pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pengrusakan hutan sangat dikontribusikan oleh pengusaha hutan tanaman yang hanya memanfaatkan ijin pemanfaatan kayu untuk merampok hutan dan meninggalkan hamparan tak berhutan. Belum ditambah dengan tidak segera dicabutnya perijinan pengusaha hutan yang telah sangat lama menunggak provisi sumberdaya hutan dan dana reboisasi.


3. Menumbuhkan kesadaran Masyarakat Pentingnya Melestarikan Hutan.


Sekalipun upaya pemerintah dalam menegakan hukum masalah pelestarian hutan dengan gencar,tanpa adanya kesadaran masyarakat pentinya melestarikan hutan, maka upaya pelestarian hutan tidak akan terwujud secara baik.

Banyak cara yang dapat kita lakukan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya hutan dan pentinganya melestarikan hutan bagi kita.


Kita bisa memulai dari ruang lingkup yang paling kecil, yaitu keluarga. Kita dapat menanam beberapa pohon di pekarangan rumah kita, sehingga rumah akan terlihat lebih hijau. Walaupun tempatnya terbatas dan sempit, tapi cukup dapat membuat rasa cinta alam kita bertambah. Setelah itu, kita akan menuju ke ruang lingkup yang lebih besar, yaitu pergaulan masyarakat. Kita tahu bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan masih kurang. Kita dapat menumbuhkannya melalui kegiatan-kegiatan sosial untuk masyarakat. Contohnya, melalui penyuluhan mengenai apakah pentingnya hutan bagi kita. Tenaga penyuluhan yang dibutuhkan haruslah yang sangat berkompeten akan hal ini dan juga yang dapat membujuk masyarakat untuk melestarikan hutan yang semakin sedikit. Selain itu, pemerintah seharusnya juga lebih memikirkan tentang keadaan alam sekarang ini. Janganlah hanya berfokus pada keuntungan saja. Jika ada perusahaan yang mengajukan untuk megubah (mengalihfungsikan) hutan menjadi fungsi yang lain, pemerintah harus memikirkannya dengan matang, apakah dampaknya bagi masyarakat dan apakah dampaknya bagi alam. Selain itu, proyek-proyek perusahaan tersebut setelah penyetujuan untuk mengubah lahan menjadi fungsi yang lain juga tetap diperhatikan. Jika dalam proses pembangunan tersebut terdapat hal-hal yang sekiranya dapat membuat alam menjadi rusak, maka pemerintah harus berani dan sigap untuk menghentikan hal-hal tersebut. Pemerintah juga harus memperhatikan proses produksi pabrik-pabrik. Jika ada perusahaan yang meminta untuk menggunakan kayu dengan menebang pohon di hutan harus dipikirkan secara matang. Setelah dipikirkan dengan matang, baru diputuskan apakah harus disetujui atau tidak. Jika disetujui maka perusahaaan tersebut harus mengganti pohon yang ditebang. Jika tidak, maka hentikan secepatnya. Setelah itu, proses produksi juga harus diperhatikan untuk mengurangi hal-hal dalam produksi yang dapat merusak alam. Pemerintah juga harus lebih giat mengadakan reboisasi terhadap hutan untuk menambah jumlah hutan. Perusahaan pun juga harus sadar tentang permasalahan ini, dengan mengkampanyekan proyek yang yang tidak merugikan hutan dan mengimplementasikan kampanye tersebut dalm setiap proses produksinya, tidak hanya membiarkan kampanye tersebut hanya sebagai slogan saja. Kembali kepada masyarakat, kita juga dapat membangun kesadaran masyarakat untuk melestarikan hutan dengan membentuk kelompok atau organisasi yang peduli akan hal ini. Organisai yang telah atau akan dibentuk tersebut haruslah mempunyai anggota yang sangat peduli akan kelestarian hutan dunia dan mengkampanyekan programnya untuk melestarikan hutan dan membujuk masyarakat sekitar untuk juga ikut mewujudkan kampanye organisasi tersebut. Itu hanya beberapa contoh saja, masih banyak ynag dapat kita lakukan untuk meningkatkan kesadran kita untuk melestarikan hutan di dunia. Dengan semakin banyaknya hutan di dunia, maka daya resap air akan lebih banyak sehingga dapat mengurangi banjir ataupun bencana alam yang berhubungan dengan air. Selain itu, dunia akan semakin hijau, semakin ramah lingkungan, dan semakin nyaman untuk ditempati manusia. Kelestarian hutan saat ini ada di tangan kita semua. Jadi, marilah kita melestarikan hutan yang saat ini semakin sedikit. Semakin banyak hutan, semakin nyaman dunia ini.

Selain itu, masyarakat juga harus dikenalkan secara baik tentang undang-udang Negara masyalah kehutanan,dibawawah akan diparkan tentang undang-undang perhutanan.



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 1999

Undang-undang pemerintah republik Indonesia nomor 41 tahun 1999 yang memaparkan tentang aturan-aturan tentang hutan yang tercantum dalam bab tiga dan empat sebagai berikut:


BAB III

PENGURUSAN HUTAN
Pasal 10
(1) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, bertujuan untuk
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran
rakyat.
(2) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan penyelenggaraan:
a. perencanaan kehutanan,
b. pengelolaan hutan,
c. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan
d. pengawasan.


BAB IV

PERENCANAAN KEHUTANAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 11
(1) Perencanaan kehutanan dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang menjamin
tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Perencanaan kehutanan dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu,
serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah.
Pasal 12
Perencanaan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a, meliputi:
a. inventarisasi hutan,
b. pengukuhan kawasan hutan,
c. penatagunaan kawasan hutan,
d. pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan
e. penyusunan rencana kehutanan.
Bagian Kedua
Inventarisasi Hutan
Pasal 13
(1) Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang
sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap.
(2) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan survei mengenai status
dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial masyarakat di
dalam dan di sekitar hutan.
(3) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
a. inventarisasi hutan tingkat nasional,
b. inventarisasi hutan tingkat wilayah,
c. inventarisasi hutan tingkat daerah alian sungai, dan
d. inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan.
(4) Hasil inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) antara lain
dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan,
penyusunan rencana kehutanan, dan sistem informasi kehutanan.
(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pengukuhan Kawasan Hutan
Pasal 14
(1) Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah
menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan.
(2) Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk
memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.
Pasal 15
(1) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses
sebagai berikut:
a. penunjukan kawasan hutan,
b. penataan batas kawasan hutan,
c. pemetaan kawasan hutan, dan
d. penetapan kawasan hutan.
(2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan
rencana tata ruang wilayah.
Bagian Keempat
Penatagunaan Kawasan Hutan
Pasal 16
(1) Berdasarkan hasil pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15,
pemerintah menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan.
(2) Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kelima
Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan
Pasal 17
(1) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat:
a. propinsi,
b. kabupaten/kota, dan
c. unit pengelolaan.
(2) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan
mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai,
sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan
batas administrasi pemerintahan.
(3) Pembentukan unit pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi pemerintahan karena
kondisi dan karakteristik serta tipe hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh Menteri.
Pasal 18
(1) Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan
hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan,
manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
(2) Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30%
(tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang
proporsional.
Pasal 19
(1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan
pada hasil penelitian terpadu.
(2) Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak
penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan
hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Simpulan

A. Sumber daya alam adalah adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup manusia agar hidup lebih sejahtera yang ada di sekitar alam lingkungan hidup kita. Sumber daya alam bisa terdapat di mana saja seperti di dalam tanah, air, permukaan tanah, udara, dan lain sebagainya. Contoh dasar sumber daya alam seperti barang tambang, sinar matahari, tumbuhan, hewan dan banyak lagi lainnya.

B. Reboisasi adalah penanaman kembali hutan yang gundul; penghijauan.

C. Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting.
























Daftar Pustaka

Partanto,A Pius, dan Yuwono,Trisno.1994.Kamus Kecil Bahasa Indonesia, Arkola Surabaya, Surabaya.

http://organisasi.org/pengertian_sumber_daya_alam_dan_pembagian_macam_jenisnya_biologi Sun, 14/05/2006 - 9:20am — godam64

http://keyblog-okeblog.blogspot.com/2009/02/reboisasi-hutan-sebagai-salah-satu.html, Februari (11).

http://groups.yahoo.com/group/lingkungan/message/9933, Fri May 11, 2001 1:23 am


http://timpakul.web.id/illog-4.html, Celoteh pada 28 September 2004 dalam topik urai

http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=MENUMBUHKAN KESADARAN HUKUM LINGKUNGAN&&nomorurut, Tanggal 2008-03-27Jam 11:11:27.


http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&jd=Lomba+YHPL%3A+Membangun+Kesadaran+untuk+Melestarikan+Hutan&dn=20081031193118, 31-Okt-2008, 19:49:25 WIB

http://ppkh.dephut.go.id/download/UNDANG-UNDANG%20REPUBLIK%20INDONESIA%20NOMOR%2041%20TAHUN%201999.pdf.

http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan.